Masyarakat perlu mengetahui ciri-ciri produk pangan yang mengandung bahan berbahaya.
Mengapa makanan-makanan yang terkontaminasi racun-racun kadar rendah seperti formalin, boraks, klorin, dan pewarna tekstil sampai beredar? Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Tien Gartini, mengatakan ada dua penyebab utamanya, yaitu ketidaktahuan produsen makanan dan ketidakpedulian.
Terhadap produsen yang tidak tahu, Tien mengatakan Badan POM bekerja sama dengan berbagai instansi terkait melakukan pembinaan. Tapi, terhadap yang melakukannya karena ketidakpedulian dan kesengajaan, hukumlah yang bicara. ''Menggunakan bahan berbahaya merupakan pelanggaran hukum,'' kata Tien kepada Republika, pekan lalu. Ganjaran berat telah menanti produsen makanan yang menghalalkan segala cara. Berdasarkan Undang-undang (UU) No 7/1996 tentang Pangan, pelakunya bisa dipenjara lima tahun dan/atau didenda Rp 600 juta.
Selain itu, ada sebab lain, yaitu keterpaksaan produsen. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Dr Ir Muhammad Nadratuzzaman Hosen, bahan-bahan berbahaya itu dicampurkan untuk menghemat biaya produksi. ''Kalau kita lihat ke bawah, itu terkait dengan efisiensi cost,'' katanya.
Karena mampu mengawetkan makanan, biaya untuk penyimpanan bahan makanan memang menjadi jauh lebih murah. Karena awet, harganya tak mudah jatuh. Apalagi, penampilan makanan yang diberi pewarna tekstil atau klorin, misalnya, lebih atraktif. Kue dan buah yang diberi pewarna tekstil seperti rhodamin B terlihat merah menyala. Demikian pula dengan beras yang diberi klorin, menjadi putih bersih.
''Tapi, kalau kita tidak mengatasi persoalan ini dari sebab musababnya, yaa akan jadi ancaman terus. Salah satu sebabnya adalah kemiskinan. Tapi, di Indonesia ini kan orang lebih senang bicara politik,'' kata Nadratuzzaman kepada Republika, pekan lalu.
Pengguna bahan-bahan berbahaya itu, kata Nadratuzzaman, umumnya adalah produsen bermodal kecil. Adapun pengusaha besar, biasanya menggunakan teknologi.
Persoalan lainnya, kata Nadratuzzaman, adalah mudahnya akses terhadap bahan-bahan itu. Untuk pewarna pakaian seperti wantek yang tergolong rhodamin B, misalnya, dia menilai sulit dibatasi. Karena bahan tersebut pada dasarnya boleh diperjualbelikan. ''Tidak dilarang karena memang itu untuk tekstil,'' katanya.
Ditambah lagi dengan masyarakat Indonesia yang mudah melupakan dan sering tidak peduli --yang penting bisa makan enak dan kenyang, maka persoalan makanan yang dicampur bahan berbahaya tersebut menjadi lebih sulit diberantas. ''Hari ini penggunaannya berkurang, besok-besok bisa banyak lagi,'' katanya.
Kenali ciri-cirinya
Karena sulit menghilangkan bahan-bahan berbahaya itu dari makanan, salah satu cara yang efektif untuk mengatasinya, kata Nadratuzzaman, adalah dengan sosialisasi terus-menerus. Terutama soal ciri-ciri makanan yang diberi bahan berbahaya, maupun bahaya mengonsumsinya.
Karena pembeli bahan makanan umumnya adalah ibu-ibu, dia menyarankan sosialisasi dilakukan lewat pusat kesejahteraan keluarga (PKK) dan pos pelayanan terpadu (posyandu). PKK dan posyandu dinilainya efektif karena eksis mulai dari tingkat paling bawah, di RT/RW.
Tien Gartini mengatakan formalin, boraks, dan pewarna tekstil, saat ini sudah diawasi ketat dan dibatasi distribusinya. Selain itu, kata dia, Badan POM dan instansi terkait terus melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada masyarakat, baik produsen maupun konsumen. ''Agar mereka tidak memproduksi dan atau mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan berbahaya,'' katanya.
Kendati masih ada bahan pangan yang disusupi bahan-bahan berbahaya, Tien mengatakan masih banyak bahan pangan yang aman. Kuncinya, kata Tien, konsumen lah yang harus selektif. ''Konsumen harus teliti sebelum membeli, dan harus mengetahui ciri-ciri pangan yang mengandung bahan berbahaya (lihat box).''
Peneliti dari Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM, Prof Dr Murdijati Gardjito, mengatakan ada beberapa cara untuk menghindari makanan yang mengandung bahan berbahaya. Antara lain dengan membiasakan mengonsumsi makanan segar, bukan yang diawetkan.
Membeli bahan makanan, kata dia, sebaiknya juga di tempat yang ramai pembeli, karena kecil kemungkinan menjual bahan makanan sisa hari sebelumnya. Kalaupun terpaksa membeli makanan matang, Murdijati menyarankan konsumen mengetahui sedikit prosesnya sehingga yakin tidak menggunakan bahan berbahaya.
Sertifikasi, juga merupakan salah satu cara mengamankan bahan pangan. Di Bandung, upaya ini menjadi cara untuk mempertahankan citra Bandung sebagai salah satu pusat makanan enak. Setiap pengusaha makanan dan industri rumah tangga di Bandung, kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Gunadi Sukma Binekas, diupayakan mendapat sertifikasi penyuluhan (SP).
Kepala Sub Dinas Farmasi dan Makanan Dinkes Kota Bandung, Fatimah Ahmad, mengungkapkan saat ini sudah tiga-empat ribu pengusaha makanan yang memiliki SP. Setiap orang yang ingin mendapat SP, kata dia, harus ikut pelatihan satu hari untuk di-training tentang bahan baku, pengawet, dan bahan-bahan lainnya yang boleh dan tidak boleh dipakai.
Dinkes, kata Fatimah, tak segan-segan mendatangi pengusaha yang tidak memiliki SP, untuk diajak mengikuti pelatihan. ''Untuk memperoleh SP pun tak mudah, karena bagi yang tidak memenuhi syarat diminta untuk diperbaiki dan kita bekali terus,'' katanya.
Tien Gartini mengatakan pemilik usaha di bidang pangan yang tidak menggunakan bahan berbahaya dalam produknya, dapat membuat surat pernyataan yang disetujui pemerintah daerah setempat. Tapi perusahaan tersebut, kata dia, harus bertanggung jawab penuh terhadap pernyataan jaminan tidak menggunakan bahan berbahaya dalam pangan yang dikelola, diproduksi, dan diedarkan.
Bahan pengganti
Menyusul mencuatnya kasus pengawetan bahan pangan dengan formalin, sempat mencuat kabar tentang adanya bahan-bahan pengganti yang aman. Antara lain chitosan. Namun, Tien mengatakan Badan POM belum merekomendasikan penggunaan chitosan. ''Sampai saat ini Badan POM belum mengizinkan chitosan sebagai bahan tambahan pangan (pengawet), karena masih diperlukan pengujian dan pembuktian lebih lanjut,'' katanya. Meski demikian, bukan berarti formalin bisa tetap digunakan untuk pengawet. Sebab, kata Tien, Permenkes No 722/MenKes/Per/IX/88 telah mengatur bahan-bahan yang boleh digunakan . Bahan-bahan tersebut bisa untuk mengawetkan, mewarnai, maupun mengemulsi, memantapkan, dan mengentalkan (lihat bahan-bahan yang direkomendasikan).
Selain bahan-bahan sintetis, masih ada bahan pengganti lain yang alami. Murdijati menyebutkan masih banyak pewarna alami buatan Indonesia yang aman digunakan. Untuk warna merah, misalnya, bisa menggunakan angkak yaitu beras yang ditanami jamur tertentu, kesumba/biza orellana, kulit buah rosella, dan pencampuran kunyit dan kapur sirih. Untuk warna hijau, bisa menggunakan daun suji dan pandan; warna menggunakan kunyit; warna biru dari bunga teleng; warna hitam dari jelaga atau arang.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Husna Zahir, juga meminta masyarakat lebih kritis menilai makanan. ''Jangan hanya lihat penampilan fisiknya,'' katanya. Pasalnya, makanan yang dicampur formalin, boraks, klorin, dan pewarna tekstil, kerap tampil lebih menawan.
Husna juga meminta meminta produsen bahan panganlebih percaya diri menggunakan bahan-bahan yang aman untuk makanan. ''Jangan kalau berasnya kurang putih menjadi tidak PD menjualnya, kemudian mengada-adakan sesuatu agar beras lebih putih. Kalau menjual kue, maunya yang berwarna mencolok,'' katanya.
Cara-cara tersebut, kata Husna, merupakan bentuk penipuan. Terhadap pelaku penipuan seperti ini, Husna meminta pemerintah memberi tindakan tegas. ''Aturan sudah ada, tapi selama ini belum ada sanksi yang menjerakan. Selama ini, mereka hanya dijerat dengan pasal-pasal tipiring (tindak pidana ringan, red),'' katanya.
Penegak hukum, kata Husna, perlu lebih peka. ''Jangan sampai polisi bilang makanan-makanan itu tidak mematikan, sehingga pelakunya tidak dihukum tinggi. Karena jaminan safety makanan, mestinya mutlak,'' katanya.
Check List
1. Pangan Berformalin
Formalin (trioksimetilen, methanal, methylene oxide) merupakan merupakan cairan dari formaldehyde yang dicampur dengan sedikit alkohol. Larutan ini tidak berwarna, namun berbau menusuk. Formalin biasanya digunakan sebagai pengawet mayat, bahan baku lem kayu lapis atau melamin untuk furniture. Formalin juga biasa digunakan sebagai disinfektan, antiseptik, penghilang bau, fiksasi jaringan dan fumigan, dan kerap digunakan dalam industri tekstil. Adapun ciri-ciri makanan berformalin:
Mie Basah
Tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar (25 derajat Celsius) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10 derajat Celsius), tidak lengket, dan mie lebih mengkilap dibandingkan mie normal. Namun baunya agak menyengat, bau formalin.
Tahu
Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es; tahu terlampau keras, kenyal, namun tidak padat; bau agak menyengat, bau formalin.
Ikan segar dan hasil laut lain
Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar; warna insang merah tua dan tidak cemerlang, bukan merah segar; Warna ikan putih bersih. Bau agak menyengat, bau formalin.
Ikan Asin
Tidak rusak sampai satu bulan pada suhu kamarl; bersih cerah dan tidak berbau khas ikan asin; bau agak menyengat, bau formalin.
Bakso
Tidak rusak sampai lima hari pada suhu kamar; teksturnya sangat kenyal; bau agak menyengat, bau formalin.
Ayam segar
Tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar; teksturnya kencang; bau agak menyengat, bau formalin.
2. Pangan Berboraks
Boraks (natrium biborat, natrium piroborat, natrium tetraborat) adalah senyawa berbentuk kristal, berwarna putih, tidak berbau, dan stabil pada suhu dan tekanan normal. Boraks biasa digunakan sebagai bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antispetik kayu, dan pengontrol kecoa. Adapun makanan yang mengandung boraks mempunyai ciri sebagai berikut:
Mie Basah
Tekstur sangat kenyal; biasanya lebih mengkilap; tidak lengket dan tidak cepat putus.
Bakso
Teksturnya sangat kenyal; warnanya tidak kecoklatan seperti penggunaan daging, namun lebih cenderung keputihan.
Jajanan (antara lain lontong)
Teksturnya sangat kenyal; terasa tajam, seperti sangat gurih dan membuat lidah bergetar namun memberikan rasa getir.
Kerupuk Teksturnya sangat renyah, namun memberi sedikit rasa getir.
3. Pangan Berpewarna Tekstil
Pewarna yang tekstil yang banyak ditemukan digunakan sebagai pewarna makanan adalah methanil yellow dan rhodamin B.
Methanil yellow adalah zat warna sintetis berwarna kuning kecoklatan dan berbentuk padat atau serbuk. Pewarna ini digunakan untuk pewarna tekstil dan cat. Ciri-ciri makanan yang diberi methanil yellow adalah: berwarna kuning mencolok dan cenderung berpendar, serta banyak memberikan titik-titik warna karena tidak homogen --misalnya pada kerupuk.
Rhodamin B adalah pewarna sintetis yang digunakan pada industri tekstil dan kertas, berbentuk serbuk kristal merah keunguan, dan dalam larutan akan berwarna merah terang berpendar. Ciri-ciri makanan yang menggunakan rhodamin B adalah: mempunyai warna merah mencolok dan cenderung berpendar, namun banyak memberikan titik-titik warna karena tidak homogen --misalnya pada kerupuk dan es puter.
4. Pangan Berklorin
Klorin ada yang berbentuk gas, cair, maupun padat. Klorin yang ditambahkan dengan kalsium hipoklorit yang berbentuk padat, umumnya dikenal sebagai kaporit. Adapun ciri-ciri beras yang mengandung klorin, warnanya sangat putih, tidak seperti beras biasa yang terlihat sedikit buram; secara umum agak licin, namun juga agak kesat; saat direndam, air rendamannya menjadi keputih-putihan; saat beras dipegang dalam keadaan kering, ada serbuk berwarna putih yagn melekat di tangan.
catatan:
Data nomor 1-3 dari Badan POM, nomor 4 dari BPTPH.
Bahan Pengganti Formalin, Boraks, dan Pewarna Tekstil yang Direkomendasikan
Pengawet
- Asam benzoate - Natrium benzoat
- Asam propionat - Natrium bisulfit
- Asam sorbat - Natrium metabisulfit
- Kalium nitrat - Natrium propionat
- Kalium propionat - Natrium sulfit
- Kalium sorbat - Propil p-hidroksibenzoat
Pewarna
- Biru berlian - Kuning FCF
- Chocolate Brown HT - Kuning Kuinolin
- Eritrosin - Merah Allura
- Hijau FCF - Ponceau 4 R
- Indigotin - Tartrazine
- Karmoisin - Hijau S
Pengemulsi, pemantap (stabilizer), pengental
- Sodium Tripolifosfat
- Karagenan
Sumber: Badan POM, dari Permenkes No 722/MenKes/Per/IX/88.
Tips dari Prof Murdijati Gardjito
1. Pilih bahan makanan mentah yang segar dengan warna yang cerah.
2. Untuk ikan dan hasil laut lainnya, pilih yang masih kenyal, sisik ikan masih utuh, tidak terkelupas, mata ikan masih menonjol.
3. Untuk memilih daging sapi, pastikan jarak waktu antara penyembelihan dan penjualan tidak terlalu lama. Daging yang baik terlihat berwarna merah segar.
4. Untuk daging ayam, pilih yang berwarna putih segar, tidakada luka/kulit yang membiru
5. Pilih makanan yang tidak diawetkan.
6. Kalaupun membeli makanan yang berwarna, baca jenis dan jumlah pewarna yang digunakan dalam produk tersebut.
7. Perhatikan label pada setiap kemasan produk. Pastikan di label tercantum izin dari Badan POM. Biasanya tertulis: POM disusul nomor izin pendaftaran. Untuk produk hasil industri rumah tangga, pastikan pula adanya tulisan P-IRT dan nomor izin pendaftaran.
8. Untuk produk makanan atau minuman yang tak dikemas secara khusus, sebaiknya pilih makanan/minuman yang warnanya tidak terlalu mencolok. Hindari makanan dengan warna merah, kuning, hijau yang terlihat ngejreng. Sebab tidak tertutup kemungkinan warna yang terlalu mencolok tersebut berasal dari bahan pewarna non food grade seperti pewarna tekstil yang berbahaya bagi kesehatan. nri
Sudah Lama Dilarang
Sejak kapan formalin, boraks, dan pewarna tekstil menyusupi makanan? ''Penyalahgunaannya sudah terjadi sejak lama,'' ungkap Tien Gartini, Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Jauh sebelum heboh makanan berformalin dan berboraks menasional, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah peraturan untuk melarangnya. Umur peraturan-peraturan itu bahkan telah dua dekade.
Penggunaan formalin dan boraks pada makanan, misalnya, telah dilarang lewat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 722/Menkes/Per/IX/88, tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP).
Adapun pewarna tekstil, larangan penggunaannya pada makanan bahkan tiga tahun lebih tua: Tertuang dalam Permenkes No 239/Menkes/Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya. Bagaimana dengan klorin yang enam bulan terakhir kasusnya mencuat karena digunakan sebagai pemutih beras? ''Badan POM tidak mengizinkan. Menurut Peraturan Menkes No 722/Menkes/Per/IX/88, klorin tidak tercatat sebagai BTP dalam kelompok pemutih dan pematang tepung,'' kata Tien kepada Republika, pekan lalu.
Jadi, telah lama jelas bahwa formalin, boraks, klorin, dan pewarna tekstil bukanlah BTP atau food grade. Tapi mengapa bahan-bahan itu marak digunakan? ''Yang lemah adalah pengawasannya,'' kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Husna Zahir, pekan lalu.
Setelah kasus makanan berformalin merebak, pemerintah kembali buru-buru membuat aturan. Antara lain lewat Peraturan Menteri Perdagangan No 04/M-DAG/PER/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya yang diamandemen dengan Peraturan Menteri Perdagangan No 8/M-DAG/PER/6/2006.
Saat ini, kata Tien, bahan-bahan seperti formalin, boraks, rhodamin B, dan methanil yellow, tak leluasa lagi diperdagangkan secara eceran. Yang boleh memproduksi bahan-bahan tersebut hanya perusahaan yang memiliki izin sebagai produsen bahan berbahaya (PB2).
PB2 ini pun hanya menyalurkannya kepada pengguna akhir bahan berbahaya (PAB2) atau melalui distributor terdaftar bahan berbahaya (DTB2). Impor bahan-bahan berbahaya pun hanya boleh dilakukan importir yang terdaftar sebagai importir produsen bahan berbabahaya (IPB2).
''Peraturan ini ditetapkan dengan maksud agar kasus penggunaan yang salah (misuse) bahan berbahaya pada pangan dapat dicegah. Paling tidak dikurangi dengan cara mengendalikan pasokan bahan berbahaya tersebut melalui mekanisme distribusi yang jelas,'' kata Tien.
Tapi, selain aturan hukum, Husna mengatakan yang juga diperlukan adalah konsistensinya. ''Kalau bicara tata niaga formalin, boraks, dan pewarna tekstil, itu sudah kita lakukan sejak 10 tahun lalu. Tapi, nyatanya masih kita temukan kan'' katanya. Jadi, yang diperlukan memang langkah nyata, bukan sekadar produk hukum yang hanya menjadi macam kertas. run
(nri/rig/run )
0 comments:
Post a Comment